Menyerap Nilai Pancasila, 50 Siswa Nonton Film LIMA

Minggu, 10 Juni 2018 - 05:59 WIB
Menyerap Nilai Pancasila,...
Menyerap Nilai Pancasila, 50 Siswa Nonton Film LIMA
A A A
JAKARTA - Sebanyak 50 siswa dari berbagai sekolah dan pondok pesantren yang ada di Serang, Banten gelar nonton bareng (nobar) film bertajuk LIMA di Mal Kelapa Gading, Jakarta, Kamis, (7/6). Nobar film karya lima sutradara Tanah Air itu diramu dengan tausiah yang dibawakan oleh Ustad Nurul atau yang akrab disapa Ustad Aya. Tampak, anak-anak menghayati sungguh-sunguh jalinan kisah dan tautan nilai Pancasila yang ada dalam film LIMA.

Hal itu terbukti, saat Ustad Aya -sebelum memberikan tausiah singkat menjelang buka bersama- melemparkan satu-dua pertanyaan kepada siswa. Siswi bernama Lusi, mislanya. Saat ditanya, pada bagian mana dari adegan dalam film yang menampilkan nilai atau sila kedua; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Lusi langsung menceritakan adegan di mana terjadi tindakan massa yang main hakim sendiri terhadap orang yang dituduh melakukan pencurian.

Menariknya, Ustad Aya tidak hanya mengorek pengalaman menonton film yang dirasa sesuai atau tidak sesuai dengan nilai Pancasila. Aya juga mengorek pengalaman nyata siswa dimana perbedaan sebagai sebuah berkat dan rahmat yang harus disyukuri.
Dina, salah seorang siswi, langsung menceritakan pengalamannya. Kepada teman-teman, Dina menyampaikan kalau dalam keluarganya ada juga yang menganut agama lain, yaitu Kristen. Namun, dalam keseharian, baik yang muslim pun yang kristen saling menghormati dan menghargai.

Saat merayakan hari-hari raya, kata Dina, rasa kebersamaan begitu besar. “Jika saya mengikuti acara Natal, makanan saya pun disiapkan secara khusus,” kata Dina.

Ustad Aya pun menegaskan bahwa Nabi Besar Muhammad SAW telah memberikan contoh yang baik mengenai kehidupan bersama dalam perbedaan, terutama mengenai saling menghormati satu sama lain.

"Semua agama mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Kita belajar persaudaraan dimulai dari nonton film (LIMA),” kata Aya.

Nobar film LIMA itu sendiri diselenggarakan oleh bank BCA. Siswa yang datang merupakan binaan BCA melalui program Bakti BCA. Ustad Aya mengatakan, nobar film LIMA sangat diperlukan untuk menambah wawasan nilai Panasila bagi anak-anak. “Saya berharap semakin banyak anak SMU yang nonton. Luar biasa bagus, karena kisah berjalin dari kelima sila (Pancasila),” komentarnya.

Turut hadir dalam acara nobar itu Executive Vice President Corporate Social Responsibility (CSR) BCA Inge Setiawati, Vice President CSR BCA Rizali Zakaria bersama manajemen BCA.

Menurut Inge, generasi muda merupakan pemegang tongkat estafet Pancasila yang saat ini harus mulai memahami makna-makna di balik tiap sila. Pancasila mestinya tidak hanya sekadar hadir pada mata pelajaran di bangku sekolah. “Pendidikan Pancasila yang bermakna dan mampu menjadi nilai-nilai hidup harus diketahui oleh siswa mulai saat ini. Karenanya, kami mengajak siswa-siswa untuk mulai mencintai nilai-nilai Pancasila,” katanya.

Inge yakin nilai-nilai dalam Pancasila dapat membentuk karakter generasi muda Indonesia yang sesuai dengan jatidiri bangsanya. “Harapannya, kegiatan ini dapat mengembangkan pendidikan kepada guru maupun siswa sekaligus menambah pengetahuan tentang arti pentingnya Pancasila dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat NKRI,” tuturnya.

Film Lima yang mengangkat lima sila dalam Pancasila dikerjakan oleh lima sutradara yaitu Shalahuddin Siregar, Tika Pramesti, Lola Amaria, Harvan Agustriansyah, dan Adriyanto Dewo. Film ini berkisah tentang tiga bersaudara yaitu Fara, Aryo dan Adi yang ditinggal selamanya oleh ibu mereka, Maryam. Bukan cuma Fara dan saudara-saudaranya yang merasa kehilangan dengan kepergian Maryam. Ijah, asisten rumah tangga, juga merasa sosok yang selama ini dibantunya.

Jalan cerita, alur, penokohan dalam LIMA menguak sila-sila Pancasila. Tokoh bernama Maryam (Tri Yudiman) beragama Islam. Fara, anakmnya juga ikut ibunya muslim. Sedangkan Aryo, kalung salib di lehernya tak pernah lepas, menunjukkan dirinya sebagai Kristen taat.

Adi (Baskara Mahendra) punya kisah kelam, dia selalu jadi korban bully. Pada suatu hari, dengan matanya sendiri dia menyaksikan sebuah peristiwa yang tidak berperikemanusiaan. Meski begitu banyak perbedaan menyolok, ketiganya tetap satu kestuan yang utuh.

Film ini berakhir di meja makan, di mana keluarga Ijah dengan dua anaknya berkumpul bersama Fara, Aryo dan Adi dalam suasana penuh kebersamaan.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1040 seconds (0.1#10.140)